Suamiku suami siaga :)
Bukan cuma siaga, tapi sport jantung, hehe... Dimana kebanyakan suami siap sedia waktu istrinya butuh ini-itu di rumah saat hamil, suamiku harus siap sedia menempuh jarak ribuan kilometer dari site nya jika aku sudah tidak bisa mengatasi suatu masalah di rumah.
"Yang, aku gini gini gini... Bla3x". Dalam waktu sepersekian detik otaknya harus memutuskan dengan cepat kapan mau pulang ke jawa, mengurus cuti yang sangat sulit, mengisi form perjalanan pesawat bolak-balik dari hutan Kalimantan sampai tiket kereta ke jawa tengah, menunggu pesawat berjam-jam (yang lebih sering delay daripada on-time nya), menunggu lagi kereta api (yang juga selalu telat).
Begitu juga saat kehamilan kedua yang penuh hal dramatis ini, aku maunya di kehamilan ini kalau bisa ditemani suamiku saat kontrol:) Dan suamiku menepatinya selama 9 bulan itu. Jemput ke jawa, bareng ke dokter di jakarta, antar lagi ke jawa, lalu dia sendirian ke Kalimantan lagi. Rasanya tiap minggu berlalu cepat sekali, baru selesai cuti kontrol kehamilan weekend ini, minggu depannya sudah harus menyusun rencana (dan tentu saja biaya) untuk kepulangan berikutnya 2 minggu lagi. Kadang memanfaatkan harpitnas, kadang jumat pulang, minggu sudah ke Kalimantan lagi, kadang supaya menghemat hari cuti, aku naik kereta sendiri dan bertemu suami di jakarta. Sampai menjelang hari kelahiran anak keduaku ini pun semua serba penuh jadwal dan kesibukan, mondar-mandir Kalimantan-Jakarta-Jateng, yang dengan berkat Tuhan semuanya berjalan lancar.
Bekerja di perusahaan tambang, oil and gas, biasanya mereka cukup "baik hati" dalam memberikan ijin cuti di situasi yang berhubungan dengan kehamilan dan kelahiran. Pesawatnya pun biasanya langsung diatur sedemikian rupa, supaya si suami bisa dapat kursi, walaupun pesawatnya hari itu sudah full. Biasanya pesawat kecil di daerah terpencil isinya 16 kursi, ada 2 kursi yang dilabeli "Waiting List (WL) 1,2". Penumpang yang saat booking tiket mendapat kursi WL ini, harus rela jika saat detik terakhir pesawat akan berangkat, kursinya diambil oleh orang lain dgn status Emergency (misal tamu penting perusahaan, suami yang istrinya akan melahirkan, dsb)
Bagaimana menjalani hidup kita, itu adalah pilihan. Yang penting happy, happy as yourself, happy as a family. Aku sangat bangga dengan suamiku, sosok teladan kelak untuk anak-anakku..... :)
I love you, darl....:-*
Bukan cuma siaga, tapi sport jantung, hehe... Dimana kebanyakan suami siap sedia waktu istrinya butuh ini-itu di rumah saat hamil, suamiku harus siap sedia menempuh jarak ribuan kilometer dari site nya jika aku sudah tidak bisa mengatasi suatu masalah di rumah.
"Yang, aku gini gini gini... Bla3x". Dalam waktu sepersekian detik otaknya harus memutuskan dengan cepat kapan mau pulang ke jawa, mengurus cuti yang sangat sulit, mengisi form perjalanan pesawat bolak-balik dari hutan Kalimantan sampai tiket kereta ke jawa tengah, menunggu pesawat berjam-jam (yang lebih sering delay daripada on-time nya), menunggu lagi kereta api (yang juga selalu telat).
Begitu juga saat kehamilan kedua yang penuh hal dramatis ini, aku maunya di kehamilan ini kalau bisa ditemani suamiku saat kontrol:) Dan suamiku menepatinya selama 9 bulan itu. Jemput ke jawa, bareng ke dokter di jakarta, antar lagi ke jawa, lalu dia sendirian ke Kalimantan lagi. Rasanya tiap minggu berlalu cepat sekali, baru selesai cuti kontrol kehamilan weekend ini, minggu depannya sudah harus menyusun rencana (dan tentu saja biaya) untuk kepulangan berikutnya 2 minggu lagi. Kadang memanfaatkan harpitnas, kadang jumat pulang, minggu sudah ke Kalimantan lagi, kadang supaya menghemat hari cuti, aku naik kereta sendiri dan bertemu suami di jakarta. Sampai menjelang hari kelahiran anak keduaku ini pun semua serba penuh jadwal dan kesibukan, mondar-mandir Kalimantan-Jakarta-Jateng, yang dengan berkat Tuhan semuanya berjalan lancar.
Bekerja di perusahaan tambang, oil and gas, biasanya mereka cukup "baik hati" dalam memberikan ijin cuti di situasi yang berhubungan dengan kehamilan dan kelahiran. Pesawatnya pun biasanya langsung diatur sedemikian rupa, supaya si suami bisa dapat kursi, walaupun pesawatnya hari itu sudah full. Biasanya pesawat kecil di daerah terpencil isinya 16 kursi, ada 2 kursi yang dilabeli "Waiting List (WL) 1,2". Penumpang yang saat booking tiket mendapat kursi WL ini, harus rela jika saat detik terakhir pesawat akan berangkat, kursinya diambil oleh orang lain dgn status Emergency (misal tamu penting perusahaan, suami yang istrinya akan melahirkan, dsb)
Bagaimana menjalani hidup kita, itu adalah pilihan. Yang penting happy, happy as yourself, happy as a family. Aku sangat bangga dengan suamiku, sosok teladan kelak untuk anak-anakku..... :)
I love you, darl....:-*